Hasil Mini Riset Pengunjung Masjid Agung Banten Lama
LAPORAN HASIL MINI RISET PENGUNJUNG MASJID AGUNG BANTEN LAMA
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Kebantenan
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Enggar Utari, M.Si.
Disusun Oleh:
Kelompok
Yushita Dewi (2224180049)
Zahwatul Janah (2224180053)
Erika Juli Agustin (2224180060)
Amalia Syarifah Arum (2224180066)
Azmar Diana (2224180071)
Kelas 3A
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi kita, yaitu Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Selanjutnya harapan kami semoga laporan “LAPORAN MINI RISET PENGUNJUNG MASJID AGUNG BANTEN LAMA” ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam laporan ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata pengantar ................................................................................................. 1
Daftar isi .......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 3
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
1.3. Tujuan Penulis ..................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
2.1. Banten Sebelum Direnovasi ................................................................. 5
2.2. Banten Dalam Artikel “Banten Dalam Angka” .................................... 11
2.3. Artikel Tentang Penelitian Banten Lama ............................................. 16
Respon Masyarakat Sebagai Pengunjung Di Banten Lama ........................ 21
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 26
3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 26
3.2. Saran ..................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam kebudayaan dari berbagai daerahnya masing-masing . kebudayaan di Indonesia memiliki karakteristik kebudayaan sendiri yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, terutama faktor geografis, agama, politik, ekonomi dsb. Kebudayaan Indonesia tersebar dibanyak daerah. Tersebar di 34 Provinsi yang ada di Indonesia dengan berbagai ciri khas dan karakteristik. Bentuknya pun dapat bermacam-macam, karena sejatinya kebudayaan adalah nilai-nilai kedaerahan yang dikemas dalam berbagai bentuk.
Banten pada masa lalu merupakan daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten adalalah provinsi diwilayah paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari kerajaan Tarumanegara yang beragama hindu, namun setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara maka dilanjutkan oleh kerajaan Sunda. Lalu Maulana Hasanuddin mendirikan kesultanan Banten. Pada masa pemerintahannya masjid pertama yang dibangun adalah Masjid Agung Banten Lama, yang sampai hari ini masih terjaga dengan baik. Masjid agung ini merupakan simbol kejayaan islam dimasa itu. Dimasjid ini banyak terdapat aktivitas yang dapat dilakukan, seperti berziarah, mendapati bukti-bukti sejarah, menikmati arsitektur masjid yang cukup tersohor.
Kesultanan Banten pernah berjaya pada abad 16 hingga abad 17. Perdagangan yang terjadi melalalui Pelabuhan Karangantu menjadikan wilayah ini makmur dan sejahtera. Kini, cerita kesultanan Banten hanya tinggal sejarah, namun kejayaan dan peninggalannya masih dapat dilihat di Museum Situs Kepurbakaan Banten Lama.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana keadaan Banten Lama sebelum direnovasi?
b. Bagaimana Banten dalam Artikel “Banten Dalam Angka” ?
c. Bagaimana Artikel penelitian tentang Banten Lama?
d. Apa respon masyarakat sebagai pengunjung di Banten Lama berdasarkan hasil mini riset?
1.3. Tujuan
a. Untuk memahami keadaan Banten Lama sebelum direnovasi
b. Untuk memahami Banten dalam Artikel “Banten Dalam Angka”
c. Untuk memahami Artikel penelitian tentang Banten Lama
d. Untuk mengetahui respon masyarakat sebagai pengunjung di Banten Lama
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Keadaan Banten Sebelum Direnovasi
Banten pada masa lampau merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai. Pada masa abad ke-5, Banten merupakan bagian dari kerajaan Tarumanagara. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya salah satu prasasti peninggalan kerajaan Tarumanagara pada tahun 1947, yaitu berupa Prasasti Cidanghiyang yang ditemukan di tepi sungai Ci Danghiyang, Kampung Lebak, Banten. Prasasti ini berisikan 2 baris kalimat berbahasa Sansekerta yang menjelaskan tentang keberanian serta keagungan dari raja Purnawarman, sang pemimpin kerajaan Tarumanagara.
Akan tetapi, berabad-abad kemudian atau lebih tepatnya pada sekitar awal abad ke-16, setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara akibat serangan kerajaan Sriwijaya, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu (sekarang Kali Serayu) dan Ci Pamali (sekarang Kali Brebes) dilanjutkan oleh kerajaan Sunda (Wikipedia, 2010). Pada masa kekuasaan kerajaan Sunda inilah kawasan Banten menjadi semakin berkembang, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede,Tamgara, Kalapa, dan Cimanuk. Luasnya daerah kekuasaan yang dimiliki kerajaan Sunda ini dipertegas dengan pernyataan yang disampaikan oleh Tome Pires (1513), seorang penjelajah Portugis dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513-1515), yang menyebutkan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa (Ekadjati, et al., 1990).
Sekitar abad ke-17, saat pengaruh Islam masuk, Banten menjadi pusat dari Kesultanan Banten yang sangat maju dan modern. Banten merupakan kawasan pelabuhan terbesar di Asia Tenggara sejajar dengan Malaka dan Makasar (J. de Barros dalam Ekadjati, et al., 1990). Kesuksesan Banten ini tidak lepas dari peran Sultan Abdulfath Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa yang memegang kekuasaan Banten selama hampir kurang lebih 20 tahun. Berbagai macam usaha yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa untuk memajukan dan menyejahterakan Banten ialah dengan melakukan berbagai pembangunan, baik pembangunan fisik ataupun pembangunan spiritual. Pembangunan inilah yang kemudian menjadi unsur-unsur penting dalam struktur kota Banten pada masa kejayaannya.
Semenjak terjadinya perselisihan adu domba yang dilakukan oleh pihak Belanda kepada Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji, kota Banten mengalami kemunduran yang sangat tidak terduga. Kemunduran ini memicu terjadinya kehancuran kekuasaan kesultanan sehingga hal tersebut menyebabkan berpindahnya kekuasaan Kesultanan Banten ke tangan Belanda. Sejak saat itulah, kedigdayaan Kesultanan Banten semakin merosot dan menghilang namanya (Ekadjati, et al., 1990).
Setelah lebih dari 2 abad berlalu, Banten Lama sebagai Kota Kawasan Pesisir hanya sekedar menjadi situs peninggalan masa kejayaan Kesultanan Banten yang mengalami banyak sekali kemunduran. Tampaknya masyarakat sangat terpengaruh akan keadaan yang membayangi diri mereka selama kurang lebih 250 tahun tersebut. Berbagai pembangunan yang sangat cepat terjadi saat ini, mulai dari perkembangan daerah industri hingga pariwisata dan pelabuhan Ferry-Bakauheni tidak membuat daerah pesisir Banten Lama untuk ikut berkembang dan kembali hidup.
Hanya berupa sisa reruntuhan kejayaan Kesultanan Banten saja yang dapat kita nikmati. Kemahsyuran kota ini yang dulu sangat memukau sudah menjadi bagian dari sejarah kota Banten. Peninggalan Kesultanan Banten pun dikenal sekedar sebagai tempat berziarah saja. Banten Lama sebagai kota pelabuhan yang hebat hanya menjadi sebuah kenangan. Bagaimana citra kota pesisir dan pelabuhan yang sangat hebat dimasa lampau bisa hilang dan lenyap pada masa kini? Apa yang hilang dari kota Banten Lama yang tidak ada pada masa kini? Apakah langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai respon dalam merevitalisasi kawasan pesisir Banten Lama ini? Lalu bagaimana peran pemerintah dalam menghidupkan kembali kawasan Banten Lama ini, apakah masterplan yang direncanakan sudah sesuai dengan kebutuhan Banten Lama?
Belajar tentang kota, citra dan elemen pembentuknya sama halnya dengan belajar mengenai arsitektur, dimana topografi, tipologi, dan sejarah menjadi dasar pendefinisian sebuah arsitektur dalam unsur waktu dan ruang yang terus-menerus berubah (Rossi, 1982:179).
Kawasan Banten adalah kawasan yang pada masanya pernah menjadi kawasan pesisir maju di dunia. Kemajuan ini terjadi tidak terlepas dari kebijakan Sultan Banten pada masanya (sekitar abad ke-17), yaitu Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan baik secara fisik ataupun spiritual di kawasan Banten. Nama pelabuhan Banten ini kemudian keberadaannya mulai diakui seluruh negeri, menyejajarkannya dengan pelabuhan Malaka dan Makasar (J. de Barros dalam Ekadjati, et al., 1990).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan Banten menjadi kawasan pelabuhan terbaik di dunia pada masa itu (sekitar abad ke-17), merupakan akibat dari masuknya pengaruh Islam di kawasan Banten. Pada masa penyebaran agama Islam ini, Banten tumbuh dan berkembang dengan pesat. Tetapi masa sebelum pengaruh Islam masuk lebih memberi peran terhadap kemajuan dan perkembangan Banten. Pada masa menjelang abad ke-16, Banten hanyalah merupakan kampung nelayan dimana pelabuhan Banten dan berbagai kawasan lainnya masih dikuasai oleh Kerajaan Hindu-Budha Pajajaran. Dengan ibukotakadipaten kerajaan Hindu-Budha Pajajaran yang terletak di Banten Girang (girang: hulu), kira-kira 13 km ke-arah selatan Banten saat ini, Kerajaan Pajajaran menggunakan sungai Cibanten sebagai jalur transportasi utama menuju pelabuhan Banten. Keberadaan jalur transportasi utama sungai Cibanten ini yang kemudian membentuk pola permukiman yang linear disepanjang aliran sungai (Michrob, 1993:41).
Masa keberdirian Kesultanan Banten (1524-1552)
Kesultanan Banten muncul dan berdiri, berawal dari keinginan Kesultanan Demak untuk mengekspansi wilayah kekuasaan serta pengaruhnya ke daerah sebelah barat pulau Jawa. Bersama pasukannya, Sunan Gunung Jati berhasil merebut Kesultanan Sunda dan mendirikan Kesultanan Banten yang tetap berpusat ke Kesultanan Demak (1524-1525) (Tjandrasasmita, 1987).
Perebutan kekuasan yang dilakukan oleh pemimpin pasukan Sunan Gunung Jati, yaitu Fatahillah, menandai perebutan wilayah Banten ke Demak yang disertai dengan pemindahan kekuasaan. Pemindahan kekuasaan inilah yang kemudian mendorong terjadinya pemindahan pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Surosowan di Banten yang berlokasi dekat dengan pantai (1526). Pemindahan yang dilakukan atas nasihat dari Sunan Gunung Jati ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan politik dan ekonomi antara pesisir Jawa dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Indonesia, dimana saat itu Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga Banten berpotensi untuk menjadi sebuah pelabuhan besar yang sukses.
Berdirinya kesultanan Surosowan yang merupakan ibukota Kesultanan Banten itu sendiri adalah merupakan perintah dari Sunan Gunung Jati, sebagai tanda berpindahnya pusat pemerintahan, kepada puteranya Hasanuddin yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan Banten.
Masa Kejayaan Kesultanan Banten Lama (1651-1656)
Puncak kejayaan Kesultanan Banten dicapai pada masa pemerintahan Sultan Abdulfath Abdulfattah yang merupakan Raja ke-7 yang memimpin Kesultanan Banten pada tahun 1651 hingga 1672. Sultan yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa ini mampu mengembangkan Kesultanan Banten sehingga mampu mendorong Pelabuhan Banten untuk menjadi pelabuhan internasional, sehingga roda perekonomian Banten pun turut berkembang pesat. Untuk akhirnya berhasil mengembangkan Banten hingga menjadi pelabuhan yang sukses kala itu, berbagai bentuk pembangunan dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebagai solusinya. Seperti pembangunan fisik berupa perbaikan Keraton Surosowan dan pembangunan Keraton Tirtayasa yang terletak di sebelah utara Banten, dekat dengan tepi pantai, serta pembangunan saluran air Tasikardi- Keraton di sebelah barat daya keraton, dimana terdapat Pangindelan Mas dan Pangindelan Putih serta pancuran mas di keraton (Tjandrasasmita, 1987).
Masa Kehancuran Kesultanan Banten
Masa kehancuran ini diawali oleh masuknya Belanda dengan VOC sebagai perusahaan dagangnya pada tahun 1610 yang memicu merosotnya frekuensi kegiatan perniagaan Internasional dan Nusantara di Banten akibat dari adanya praktik monopoli oleh pihak kompeni. Hal ini menyebabkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Banten pun menurun drastis. Pada tahun 1656, terjadi ketegangan hubungan antara Kesultanan Banten dengan pihak Belanda. Ketegangan yang muncul sebagai akibat dari habisnya masa berlaku surat perjanjian 10 tahun mengenai kerjasama antara pihak Banten dengan Belanda yang pada akhirnya tidak menemui titik temu untuk kembali diperpanjang. Untuk mengatasi ketegangan ini, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha meluaskan pengaruhnya dengan menjalin kerjasama dengan daerah-daerah dibagian barat dan timur kesultanan seperti Cirebon, Mataram, Bengkulu, Lampung, dan Salebar.
Meski sempat terjadi kesepakatan mengenai perjanjian perdamaian, ternyata hal ini tidak dapat berlangsung lama sehingga kembali terjadi perang terbuka pada tahun 1658 yang banyak memakan korban jiwa. Melihat banyaknya korban jiwa yang habis akibat peperangan ini, Belanda akhirnya kembali menawarkan kesempatan perjanjian perdamaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Jenderal Kompeni pada tahun 1659. Sebuah perjanjian yang mengalami proses yang alot akibat kecurangan dari pidak Belanda yang ingin menguasai wilayah Kesultanan Banten.
Selain itu, kemunduran ini juga terjadi sebagai akibat dari terjadinya aksi adu domba yang dilakukan oleh pihak Kompeni (1671), antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anak tercintanya Sultan Abdul Kahar atau yang biasa disebut dengan Sultan Haji. Aksi adu domba ini ternyata telah berhasil menghasut Sultan Haji untuk tidak lagi menuruti apa yang diperintahkan oleh ayahandanya, dan lebih mendengarkan perintah dan hasutan dari pihak Kompeni atau Belanda. Karena kebodohan yang dilakukan oleh anaknya inilah yang kemudian membuat Sultan Ageng Tirtayasa terpaksa menyerang dan memusnahkan Keraton Tirtayasa untuk menghukum anaknya Sultan Haji yang telah ingkar dan berkhianat.
Pasca peperangan ini sebenarnya sudah berhasil membuat kondisi Kesultanan Banten semakin terpuruk. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa dijebak oleh pihak Belanda agar kembali ke Keraton Surosowan dan kemudian ditangkap. Hal ini dilakukan agar pada tahun berikutnya, 1684, pihak Belanda dapat membuat suatu perjanjian perdamaian dengan pihak kesultanan yaitu Sultan Haji. Kesultanan pun berangsur-angsur mengalami kemerosotan dalam performanya dan kemudian hancur akibat perang dengan pihak kompeni.
Setelah perlawanan yang cukup sengit pada tahun 1808, Keraton Surosowan pada akhirnya diserbu dan dihancurkan oleh Belanda. Akibatnya Sultan Muhammad Rafi‟uddin, yang merupakan sultan terakhir Kesultanan Banten, pada tahun 1815 terpaksa pergi meninggalkan Keraton Surosowan dan pindah ke Keraton Kaibon yang letaknya berada di tepi sungai Cibanten, lebih selatan dari Keraton Surosowan. Tetapi pelarian ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 1832, keraton ini dibongkar paksa oleh pihak Belanda.
Sedangkan jauh sebelum pembongkaran paksa itu, pada tahun 1816 pihak Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Van Capellan sudah mengambil alih kekuasan Kesultanan Banten dan menjadikan Keraton Kaibon di Kasemen sebagai pusat pemerintahannya yang baru. Lalu pada tahun 1828, pusat pemerintahan kabupaten pun dipindahkan dari Kasemen ke sebelah Selatan dan kemudian membangun Kota Serang (serang: sawah). Disebut Serang dikarenakan kota ini dahulunya merupakan daerah persawahan yang subur (Rafiuddin, 2006).
Banten Masa Lampau (Periode Kesultanan Banten – Kemerdekaan RI)
a. Masjid Agung Banten
Masjid ini didirikan pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1780) (Guillot, 1990). Kompleks Masjid ini terdiri dari Bangunan Masjid dengan serambi pada kanan dan kirinya, Bangunan Tijamah, Menara, dan tempat pemakaman pada sisi utaranya. Bangunan Tijamah merupakan bangunan tambahan yang terletak di sebelah selatan Masjid Agung. Pada masa ini, bangunan ini digunakan sebagai tempat musyawarah dan diskusi soal keagamaan. Menurut tradisi dibangun oleh Lucasz Cardeel, seorang arsitek Belanda (Tjandrasasmita, 1987).
b. Keraton Surosowan
Kompleks Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat dengan luas sekitar 3 Ha. Pintu masuk yang berada disebelah utara ini menghadap kearah alun-alun yang juga menghadap ke arah pesisir pantai. Kompleks ini juga memiliki kanal-kanal air yang mengelilingi keraton ini. Keraton Surosowan dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sedangkan tembok besar yang mengelilinginya dibangun pada masa kesultanan Maulana Yusuf (1570-1580), anak dari Maulana Hasanuddin (Rafiuddin, 2006).
c. Keraton Kaibon
Keraton Kaibon terletak di Kampung Kroya sebelah tenggara dari Komplek Keraton Surosowan. Dilihat dari namanya, Kaibon mempunyai arti Keibuan. Keraton ini dibangun untuk Ibu Ratu Aisyah, ibunda Sultan Shafiyuddin mengingat Sultan Shafiyuddin masih sangat muda sekali untuk memegang tahta pemerintahan (masih berumur 5 tahun). Sayangnya Keraton Kaibon berdiri tidak lama, karena pada tahun 1832, keraton ini dibongkar paksa oleh Belanda sebagai bukti kekuasaan Belanda di kesultanan Banten (Rafiuddin, 2006).
Keraton Kaibon ini dikelilingi oleh saluran air, sehingga seolah-olah keraton ini dibangun di atas air. Saluran ataupun kanal-kanal air yang mengelilinginya ini pun ternyata menghubungkan keraton dengan laut lepas melalui jalur sungai cibanten melewati pelabuhan Karangantu. Sebagai bagian intidari bangunan ini yaitu sebuah masjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah dan anggun (Tjandrasasmita, 1987).
d. Benteng Speelwijck
Dalam sebuah catatan sejarah, diceritakan bahwa benteng Speelwijck ini dahulunya merupakan benteng kepemilikan kesultanan Banten. Benteng Banten ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Haji Abunhasri‟ Abdul Kahhar (1672- 1687). Tetapi pada tahun 1685, kesultanan Banten diserang oleh pihak Belanda dan kekuasaan diambil alih oleh Belanda. Kemudian benteng ini pun direnovasi di atas reruntuhan sisi utara tembok/benteng yang sempat mengelilingi kota Banten. Dibagian luarnya dibuat kanal-kanal air buatan yang mengelilingi benteng ini. Benteng Speewijck ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda yang sudah memeluk agama Islam saat itu yaitu Hendrick Lucaszoon Cardeel. Sedangkan nama Speelwicjk yang melekat pada benteng tersebut merupakan nama dari seorang Gubernur Jenderal Speelma.
Pada masa kesultanan Banten, benteng ini merupakan rumah komandan, gereja, kamar senjata, kantor administrasi, took-toko kompeni, serta kamar dagang. Tidak mengherankan bila ternyata disekitar kawasan Benteng Speelwijck ini merupakan kawasan permukiman orang Belanda yang beraktivitas disekitar Benteng Speelwijck (Rafiuddin, 2006).
2. 2 Banten Dalam Artikel “Banten Dalam Angka”
Secara astronomis, Provinsi Banten terletak antara 050 07'50" dan 070 01'01" Lintang Selatan, serta 1050 01'11" dan 1060 07'12" bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi Banten memiliki batas-batas: Utara – Laut Jawa; Selatan - Samudera Hindia; Barat – Selat Sunda; Timur – Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Provinsi Banten terdiri dari empat Kabupaten dan empat Kota, yaitu:
- Kabupaten Pandeglang
- Kabupaten Lebak
- Kabupaten Tangerang
- Kabupaten Serang
- Kota Tangerang
- Kota Cilegon
- Kota Serang
- Kota Tangerang Selatan
Provinsi Banten secara umum merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 – 200 meter di atas permukaan laut, serta memiliki beberapa gunung dengan ketinggian mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut. Wilayah administrasi Provinsi Banten terdiri dari empat wilayah kabupaten dan empat kota, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 6 Tahun 2008 luas daratan masing-masing kabupaten/kota, yaitu:
Kabupaten Pandeglang (2.746,89 km2),Kabupaten Lebak (3.426,56 km2), Kabupaten Tangerang (1.011,86 km2), Kabupaten Serang (1.734,28 km2 ), Kota Tangerang(153,93 km2), Kota Cilegon (175,50 km2), Kota Serang (266,71 km2), serta Kota Tangerang Selatan (147,19 km2).
Jarak antara Ibukota Provinsi ke Daerah Kabupaten/Kota:
1. Serang - Pandeglang (Kabupaten Pandeglang) : 21 km.
2. Serang – Rangkasbitung (Kabupaten Lebak) : 41 km.
3. Serang - Tigaraksa (Kabupaten Tangerang) : 33 km.
4. Serang - Ciruas (Kabupaten Serang) : 9 km.
Pada awalnya Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kemudian, melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten yang disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 17 Oktober 2000, Banten menjadi sebuah provinsi yang otonom. Sebulan setelah itu pada 18 November 2000 dilakukan peresmian Provinsi Banten dan pelantikan Pejabat Gubernur H. Hakamudin Djamal untuk menjalankan pemerintah provinsi sementara waktu sebelum terpilihnya Gubernur Banten definitif. Pada tahun 2002 DPRD Banten memilih Dr. Ir. H. Djoko Munandar, M.Eng dan Hj. Atut Chosiyah, SE. sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pertama.
Sejak berdirinya, Provinsi Banten telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam bidang pemerintahan, dimana pada awalnya terdiri dari 6 (enam) kabupaten/kota dan pada saat ini terdiri dari 8 (delapan) kabupaten/kota yang terbagi menjadi 155 kecamatan dan 1.551 desa/ kelurahan. Pada tahun 2017, jumlah wakil rakyat yang duduk pada lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebanyak 85 orang, dengan 67 orang laki-laki dan 18 orang perempuanSecara organisasi, lembaga wakil rakyat tahun ini terdiri dari Sembilan fraksi. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Golongan Karya merupakan fraksi terbesar dengan anggota masing-masing sebanyak 15 orang.
Pada tahun 2017, penduduk Banten usia 7-24 tahun yang masih sekolah sebanyak 68,09 persen. Untuk kelompok umur 7-12 tahun yang masih sekolah sebanyak 99,31 persen, kemudian kelompok umur 13-15 tahun sebanyak 95,67 persen, kelompok umur 16-18 tahun sebanyak 67,77 persen, dan kelompok umur 19-24 tahun sebanyak 21,33 persen.Pada tahun 2017, di Provinsi Bantenterdapat 4.562 unit Sekolah Dasar (SD)dengan 53.354 guru dan 1.195.653murid. Untuk Sekolah MenengahPertama (SMP), pada tahun 2017terdapat 1.421 unit SMP dengan 19.995guru dan 424.406 murid. Sementara itu, untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), di Provinsi Banten terdapat 529unit Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan 9.613 guru dan 182.941 murid, serta 668 unit Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan 10.900 guru dan 250.361 murid. Disamping sekolah umum tersebut, di Provinsi Banten juga terdapat 1.036 unit Madrasah Ibtidaiyah (MI), 1.005 unit Madrasah Tsanawiyah (MTs), 396 unit Madrasah Aliyah (MA) serta 3.267 pondok pesantren.
Pada tahun 2017, fasilitas kesehatan yang tersedia di Provinsi Banten antara lain 106 unit Rumah Sakit, 239 Puskesmas, dan 1.245 Klinik/ Balai. Tenaga kesehatan yang tersedia di Provinsi Banten sebanyak 1.415 tenaga medis, 4.281 tenaga keperawatan, 4.118 tenaga kebidanan, 414 tenaga kefarmasian, dan 1.291 tenaga kesehatan lainnya.
Sebagai sarana ibadah, di Provinsi Banten terdapat 9.112 masjid, 13.299 mushola, 838 gereja Protestan, 14 gereja Katholik, 12 pura, 155 wihara dan 9 kelenteng. Pada pelaksanaan ibadah haji tahun 2017, jumlah jamaah haji dari Provinsi Banten sebanyak 9.308 orang, yang terdiri dari 4.204 jemaah laki-laki dan 5.104 jemaah perempuan.
Pada tahun 2017 tercatat sebanyak 3.146 tahanan dan 6.597 narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang ada diWilayah Provinsi Banten.Pada Maret 2017 terdapat 675,04 ribu penduduk miskin di Provinsi Banten (5,45%), sementara pada September 2017 terdapat 699,83 ribu penduduk miskin (5,59%). Persentase penduduk miskin tersebut meningkat dari tahun 2016 yang sebesar 5,42 persen pada bulan Maret 2016 dan 5,36 persen pada bulan September 2016.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Banten menunjukkan peningkatan dari 70,96 pada tahun 2016 menjadi 71,42 pada tahun 2017. IPM tersebut ditopang oleh Angka Harapan Hidup sepanjang 69,49 tahun, Harapan Lama Sekolah sepanjang 12,78 tahun, Rata-rata Lama Sekolah sepanjang 8,53 tahun, dan Pengeluaran per kapita yang disesuaikan sebesar 11,66 juta rupiah per tahun.
Pada tahun 2017, produksi padi di Provinsi banten sebesar 2,37 juta ton untuk padi sawah dan 43,75 ribu ton untuk padi ladang. Sementara itu, produksi tanaman palawija pada tahun 2017 masing-masing adalah 63,52 ribu ton jagung, 2,13 ribu ton kedelai, 5,73 ribu ton kacang tanah, 221 ton kacang hijau, 75,49 ribu ton ubi kayu, dan 20,72 ributon ubi jalar.
Pada tahun 2017, komoditi sayuran dan buah-buahan tahunan di Provinsi Banten didominasi oleh pisang, melinjo, dan durian. Produksi pisang tahun 2017 sebesar 250,19 ribu ton, melinjo sebesar 24,80 ribu ton, dan durian sebesar 22,63 ribu ton. Sedangkan komoditi sayuran dan buah-buahan semusim didominasi oleh jamur sebesar 1,39 ribu ton, kacang panjang sebesar 1,31 ribu ton dan ketimun sebesar 1,29 ribu ton.
Tiga komoditi utama tanaman perkebunan di Provinsi Banten padatahun 2017 yaitu kelapa dengan produksi sebesar 43.046 ton, kelapa sawit sebesar 3.785 ton, dan karet sebesar 6.591 ton.
Populasi sapi (sapi potong dan sapi perah) di Provinsi Banten tahun 2017 mencapai 56,71 ribu ekor, kerbau sebanyak 101,06 ribu ekor dan kuda 178 ekor. Untuk populasi ternak kecil tercatat domba sebanyak 684,38 ribu ekor, kambing 815,81 ribu ekor, dan babi 5,72 ribu ekor. Sementara itu populasi unggas yaitu ayam pedaging sebanyak 211,70 juta ekor, ayam kampung 11,12 juta ekor, ayam petelur 15,65 juta ekor, itik 1,73 juta ekor, dan itik manila 177,61 ribu ekor.
Pada tahun 2017, di Provinsi Banten terdapat 9.235 rumah tangga perikanan tangkap, dimana 8.676 rumah tangga atau 93,95 persen diantaranya merupakan rumah tangga yang menangkap ikan di laut, sementara sisanya merupakan rumah tangga yang menangkap ikan di perairan umum. Total produksi perikanan tangkap selama tahun 2017 sebesar 107,36 ributon, dimana 106,54 ribu ton atau 99,24persen diantaranya dihasilkan dari perikanan tangkap di laut.
Produksi hasil hutan yang berupa kayu di Provinsi Banten pada tahun 2017 berupa kayu bulat sebanyak 17,56 ribu m yang terdiri dari kayu jati dan kayu rimba. Produksi kayu jati pada tahun 2017 sebesar 11,69 ribu m dengan nilai produksi 27,89 miliar rupiah, sedangkan produksi kayu rimba sebesar 5,86 ribu m dengan nilai 1,95 miliar rupiah.
Pada tahun 2016, di Provinsi Banten terdapat 1.862 perusahaan industri besar dan sedang, dengan tenaga kerja sebanyak 514.462 orang. Nilai produksi yang dihasilkan pada tahun 2015 adalah sebesar 440,20 trilyun rupiah.
Pada tahun 2017, jumlah perusahaan pertambangan di Provinsi Banten sebanyak 203 perusahaan,dimana yang terbanyak adalah perusahaan pertambangan andesit, pasir laut, dan pasir darat. Dilihat dari luas wilayah penambangannya, bahan tambang jenis pasir laut memiliki wilayah terluas, yaitu sebesar 38,39 ribuha. Sementara itu, dari jumlah produksinya, andesit memiliki produksi terbesar yaitu 2,66 juta m.
Pada tahun 2017, jumlah pelanggan listrik di wilayah Provinsi Banten sebanyak 2,93 juta pelanggan, dengan daya tersambung sebesar 9,90 juta kVA dan energi yang terjual sebesar 21,68 juta MWh. Sementara itu, gas kota yang terjual selama tahun 2017 sebanyak 1,33.
Nilai ekspor Provinsi Banten tahun 2017 sebesar US$11,24 miliar, naik 20,49persen dari tahun sebelumnya yang sebesar US$9,33 miliar. Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar pada ekspor Provinsi Banten, yaitu sebesar US$10,97 miliar (97,68%), sementara sisanya berasal dari sektor pertanian US$233,58 juta (2,08%), migasUS$24,75 juta (0,22%), serta pertambangan dan lainnya US$2,49 juta (0,02%).Nilai impor Provinsi Banten tahun 2017 sebesar US$11,03 miliar, naik 29,53 persen dibandingkan nilai impor tahun sebelumnya yang sebesar US$8,51 miliar. Sebagian besar impor tersebut berupa bahan baku dan barang penolong sebesar US$10,49 miliar (95,10%), sedangkan sisanya berupa barang modal US$299,69 juta (2,72%) dan barang konsumsi US$240,37 juta (2,18%)..
Pada tahun 2017 terdapat 384 hotel (berbintang dan nonbintang) di Provinsi Banten yang menyediakan 16.669 kamar dan 24.327 tempat tidur. Hotel tersebut digunakan oleh tamu asing maupun tamu domestik dengan rata-rata lama menginap selama 1,95hari untuk tamu asing dan 1,43 hari untuk tamu domestik. Sementara itu, tingkat penghunian kamar hotel selama tahun 2017 adalah 52,59 persen untuk hotel berbintang dan 28,62 persen untuk hotel nonbintang.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pariwisata, sepanjang tahun 2017 terdapat 21,71 juta wisatawan yang mengunjungi lokasi wisata di Provinsi Banten, yang terdiri dari 23,31 juta wisatawan nusantara dan 403,46 ribu wisatawan mancanegara.
2. 3 Artikel Tentang Penelitian Banten Lama
Banten merupakan salah satu provinsi baru yang ada di Indonesia. Sejak tahun 2000, sesuai dengan keputusan Undang-undang Nomor 23 tahun 2000, Banten resmi terpisah dari provinsi Jawa Barat dan menjadi provinsi sendiri dengan Kota Serang sebagai pusat pemerintahan. Dengan luas wilayah sebesar 9.160,70 km2 dan jumlah penduduk sebesar 9.351.470 jiwa, Provinsi Banten memiliki tingkat kepadatan sekitar 1.020 jiwa/km2 (Wikipedia, 2010).
Sebagai provinsi dengan jumlah daerah pesisir yang signifikan, Banten mempunyai wilayah perairan yang sangat potensial. Selat Sunda menjadi salah satu jalur strategis yang dimiliki Banten karena mampu dilalui kapal-kapal besar yang menghubungkan Australia dengan Asia. Tidaklah heran bila pada masa lampau kawasan Banten menjadi kawasan yang paling maju dan berkembang karena peran dan kontribusi wilayah perairannya yangstrategis.
Kawasan Banten adalah kawasan yang pada masanya pernah menjadi kawasan pesisir maju di dunia. Kemajuan ini terjadi tidak terlepas dari kebijakan Sultan Banten pada masanya (sekitar abad ke-17), yaitu Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan baik secara fisik ataupun spiritual di kawasan Banten. Nama pelabuhan Banten ini kemudian keberadaannya mulai diakui seluruh negeri, menyejajarkannya dengan pelabuhan Malaka dan Makasar (J. de Barros dalam Ekadjati, et al.,1990).
a. Sejarah Banten
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan Banten menjadi kawasan pelabuhan terbaik di dunia pada masa itu (sekitar abad ke-17), merupakan akibat dari masuknya pengaruh Islam di kawasan Banten. Pada masa penyebaran agama Islam ini, Banten tumbuh dan berkembang dengan pesat. Tetapi masa sebelum pengaruh Islam masuk lebih memberi peran terhadap kemajuan dan perkembangan Banten. Pada masa menjelang abad ke-16, Banten hanyalah merupakan kampung nelayan dimana pelabuhan Banten dan berbagai kawasan lainnya masih dikuasai oleh Kerajaan Hindu-Budha Pajajaran. Dengan ibukota kadipaten kerajaan Hindu-Budha Pajajaran yang terletak di Banten Girang (girang: hulu), kira-kira 13 km ke-arah selatan Banten saat ini, Kerajaan Pajajaran menggunakan sungai Cibanten sebagai jalur transportasi utama menuju pelabuhan Banten. Keberadaan jalur transportasi utama sungai Cibanten ini yang kemudian membentuk pola permukiman yang linear disepanjang aliran sungai (Michrob, 1993:41).
b. Masa keberdirian Kesultanan Banten (1524-1552)
Kesultanan Banten muncul dan berdiri, berawal dari keinginan Kesultanan Demak untuk mengekspansi wilayah kekuasaan serta pengaruhnya ke daerah sebelah barat pulau Jawa. Bersama pasukannya, Sunan Gunung Jati berhasil merebut Kesultanan Sunda dan mendirikan Kesultanan Banten yang tetap berpusat ke Kesultanan Demak (1524-1525) (Tjandrasasmita,1987).
Perebutan kekuasan yang dilakukan oleh pemimpin pasukan Sunan Gunung Jati, yaitu Fatahillah, menandai perebutan wilayah Banten ke Demak yang disertai dengan pemindahan kekuasaan. Pemindahan kekuasaan inilah yang kemudian mendorong terjadinya pemindahan pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Surosowan di Banten yang berlokasi dekat dengan pantai (1526). Pemindahan yang dilakukan atas nasihat dari Sunan Gunung Jati ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan politik dan ekonomi antara pesisir Jawa dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Indonesia, dimana saat itu Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga Banten berpotensi untuk menjadi sebuah pelabuhan besar yangsukses.
Berdirinya kesultanan Surosowan yang merupakan ibukota Kesultanan Banten itu sendiri adalah merupakan perintah dari Sunan Gunung Jati, sebagai tanda berpindahnya pusat pemerintahan, kepada puteranya Hasanuddin yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan Banten.
c. Masa Kejayaan Kesultanan Banten Lama (1651-1656)
Puncak kejayaan Kesultanan Banten dicapai pada masa pemerintahan Sultan Abdulfath Abdulfattah yang merupakan Raja ke-7 yang memimpin Kesultanan Banten pada tahun 1651 hingga 1672. Sultan yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa ini mampu mengembangkan Kesultanan Banten sehingga mampu mendorong Pelabuhan Banten untuk menjadi pelabuhan internasional, sehingga roda perekonomian Banten pun turut berkembang pesat. Untuk akhirnya berhasil mengembangkan Banten hingga menjadi pelabuhan yang sukses kala itu, berbagai bentuk pembangunan dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebagai solusinya. Seperti pembangunan fisik berupa perbaikan Keraton Surosowan dan pembangunan Keraton Tirtayasa yang terletak di sebelah utara Banten, dekat dengan tepi pantai, serta pembangunan saluran air Tasikardi- Keraton di sebelah barat daya keraton, dimana terdapat Pangindelan Mas dan Pangindelan Putih serta pancuran mas di keraton (Tjandrasasmita, 1987).
d. Masa Kehancuran Kesultanan Banten
Masa kehancuran ini diawali oleh masuknya Belanda dengan VOC sebagai perusahaan dagangnya pada tahun 1610 yang memicu merosotnya frekuensi kegiatan perniagaan Internasional dan Nusantara di Banten akibat dari adanya praktik monopoli oleh pihak kompeni. Hal ini menyebabkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Banten pun menurun drastis. Pada tahun 1656, terjadi ketegangan hubungan antara Kesultanan Banten dengan pihak Belanda. Ketegangan yang muncul sebagai akibat dari habisnya masa berlaku surat perjanjian 10 tahun mengenai kerjasama antara pihak Banten dengan Belanda yang pada akhirnya tidak menemui titik temu untuk kembali diperpanjang. Untuk mengatasi ketegangan ini, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha meluaskan pengaruhnya dengan menjalin kerjasama dengan daerah-daerah di bagian barat dan timur kesultanan seperti Cirebon, Mataram, Bengkulu, Lampung, dan Salebar.
Meski sempat terjadi kesepakatan mengenai perjanjian perdamaian, ternyata hal ini tidak dapat berlangsung lama sehingga kembali terjadi perang terbuka pada tahun 1658 yang banyak memakan korban jiwa. Melihat banyaknya korban jiwa yang habis akibat peperangan ini, Belanda akhirnya kembali menawarkan kesempatan perjanjian perdamaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Jenderal Kompeni pada tahun 1659. Sebuah perjanjian yang mengalami proses yang alot akibat kecurangan dari pidak Belanda yang ingin menguasai wilayah Kesultanan Banten.
Selain itu, kemunduran ini juga terjadi sebagai akibat dari terjadinya aksi adu domba yang dilakukan oleh pihak Kompeni (1671), antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anak tercintanya Sultan Abdul Kahar atau yang biasa disebut dengan Sultan Haji. Aksi adu domba ini ternyata telah berhasil menghasut Sultan Haji untuk tidak lagi menuruti apa yang diperintahkan oleh ayahandanya, dan lebih mendengarkan perintah dan hasutan dari pihak Kompeni atau Belanda. Karena kebodohan yang dilakukan oleh anaknya inilah yang kemudian membuat Sultan Ageng Tirtayasa terpaksa menyerang dan memusnahkan Keraton Tirtayasa untuk menghukum anaknya Sultan Haji yang telah ingkar dan berkhianat.
Pasca peperangan ini sebenarnya sudah berhasil membuat kondisi Kesultanan Banten semakin terpuruk. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa dijebak oleh pihak Belanda agar kembali ke Keraton Surosowan dan kemudian ditangkap. Hal ini dilakukan agar pada tahun berikutnya, 1684, pihak Belanda dapat membuat suatu perjanjian perdamaian dengan pihak kesultanan yaitu Sultan Haji.
Permasalahan yang terjadi di dalam Kesultanan Banten ini, tidak hanya semata-mata mengenai perebutan kekuasaan dengan pihak Belanda. Lebih dari itu, di dalam kesultanan sendiri terjadi perebutan kekuasaan oleh anak-anak Sultan Haji sepeninggal kematian Sultan Haji pada tahun1687.
Bermula dari permasalahan inilah yang kemudian memicu berbagai perselisihan di dalam kubu kesultanan sendiri yang dijadikan sebagai celah untuk menghancurkan kesultanan Banten oleh pihak kompeni. Lama-kelamaan,kesultanan pun berangsur-angsur mengalami kemerosotan dalam performanya dan kemudian hancur akibat perang dengan pihak kompeni.
Setelah perlawanan yang cukup sengit pada tahun 1808, Keraton Surosowan pada akhirnya diserbu dan dihancurkan oleh Belanda. Akibatnya Sultan Muhammad Rafi‟uddin, yang merupakan sultan terakhir Kesultanan Banten, pada tahun 1815 terpaksa pergi meninggalkan Keraton Surosowan dan pindah ke Keraton Kaibon yang letaknya berada di tepi sungai Cibanten, lebih selatan dari Keraton Surosowan. Tetapi pelarian ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 1832, keraton ini dibongkar paksa oleh pihak Belanda.
Sedangkan jauh sebelum pembongkaran paksa itu, pada tahun 1816 pihak Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Van Capellan sudah mengambil alih kekuasan Kesultanan Banten dan menjadikan Keraton Kaibon di Kasemen sebagai pusat pemerintahannya yang baru. Lalu pada tahun 1828, pusat pemerintahan kabupaten pun dipindahkan dari Kasemen ke sebelah Selatan dan kemudian membangun Kota Serang (serang: sawah). Disebut Serang dikarenakan kota ini dahulunya merupakan daerah persawahan yang subur (Rafiuddin,2006).
2. 4 Respon Masyarakat Sebagai Pengunjung Di Banten Lama
Berdasarkan observasi melalui penyebaran angket yang kami lakukan pada pengunjung Komplek Masjid Agung Banten Lama dengan berbagai umur, jenjang pendidikan, pekerjaan, dan asal mereka memiliki pandangan yang berbeda dari setiap pertanyaan yang ada pada angket tersebut, dari keseluruhan pengunjung yang kami temui dapat disimpulkan, pada pertanyaan ke-1 12/16 orang mengatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-2 12/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-3 13/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-4 14/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-5 7/16 orang menyatakan tidak setuju, pada pertanyaan ke-6 9/16 orang menyatakan setuju, pada pertanyaan ke-7 12/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-8 7/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-9 7/16 menyatakan setuju, pada pertanyaan ke-10 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-11 9/16 orang menyatakan setuju, pada pertanyaan ke-12 6/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-13 10/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-14 7/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-15 13/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-16 11/6 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-17 9/6 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-18 6/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-199/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-20. Pada pertanyaan ke-21 11/16 orang menyatakan 10/16 menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-22 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-23 12/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-23 6/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-24 6/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-25 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-26 9/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-28 13/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-29 5/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-307/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-31 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-32 10/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-33 6/16 orang menyatakan tidak setuju. Pertanyaan ke-34 6/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-35 6/16 orang menyatakan tidak setuju
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Banten pada masa lalu merupakan daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten adalalah provinsi diwilayah paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari kerajaan Tarumanegara yang beragama hindu, namun setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara maka dilanjutkan oleh kerajaan Sunda. Lalu Maulana Hasanuddin mendirikan kesultanan Banten. Pada masa pemerintahannya masjid pertama yang dibangun adalah Masjid Agung Banten Lama, yang sampai hari ini masih terjaga dengan baik. Masjid agung ini merupakan simbol kejayaan islam dimasa itu. Dimasjid ini banyak terdapat aktivitas yang dapat dilakukan, seperti berziarah, mendapati bukti-bukti sejarah, menikmati arsitektur masjid yang cukup tersohor.
Berdasarkan hasil observasi pada pengunjung Masjid Agung Banten Lama dapat disimpikan bahwa pada aspek pariwisata, penengujung setuju bahwa mereka menyukai tempat tersebut dan mereka mengunjungi untuk berbagai macam hal seperti ziarah, ibadah bahkan untuk mendalami sejarah banten. Pada aspek lingkungan menurut pengujung berbagai fasilitas sudah cukup memadai dan bersih, pengelolaan sampah sudah baik dengan adanya 3 warna tempat sambah dan para pengunjung pun sudah sadar akan memebuang sampah pada tempatnya. Pada aspek ekonomi, menurut pengunjung oleh-oleh yang diperdagangkan cukup bervariasa baik makanan maupun harga, tetapi para pengunjung masih merasa belum aman saat membeli oleh-oleh karena masih merasa takut dengan adanya para pencopet disana. Pada aspek teknologi, akses jalan menuju Banten lama cukup mudah tetapi dengan lahan parkir dengan kemanan rendah karea tidak adanya sistem digital dan cctv dan jalan keluar masuk pengunjung yang belum tertata.
3.2. SARAN
1. Pembaca perlu datang ke Masjid Agung Banten Lama agar dapat memastikan kondisi yang ada disana
2. Sebaiknya observasi dilakukan dengan teliti dan apaadanya
LAMPIRAN FOTO
DAFTAR PUSTAKA
Bidang Integrasi Pengolahan Dan Diseminasi Statistik. 2018. Provinsi Banten Dalam Angka
2018. BPS Provinsi Banten: Banten
Ekadjati, E.S, dkk. 1990. Sejarah dan Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme
di Daerah Jawa Barat. Depdikbud : Jakarta
Michrob, Halwany. 1993. Sejarah Perkembangan Kota Islam Banten. Yayasan Baluwarti:
Jakarta.
Rapiuddin, Tb. Hafidz. 2006. Riwayat Kesultanan Banten. Banten
Rossi, Aldo. 1982. The Architecture of The City. Oppositions Books.
Tjandrasasmita, Uka. 1987. Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten
Lama. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala:
Jakarta.
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Kebantenan
Dosen Pengampu: Dr. Hj. Enggar Utari, M.Si.
Disusun Oleh:
Kelompok
Yushita Dewi (2224180049)
Zahwatul Janah (2224180053)
Erika Juli Agustin (2224180060)
Amalia Syarifah Arum (2224180066)
Azmar Diana (2224180071)
Kelas 3A
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi kita, yaitu Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Selanjutnya harapan kami semoga laporan “LAPORAN MINI RISET PENGUNJUNG MASJID AGUNG BANTEN LAMA” ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam laporan ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata pengantar ................................................................................................. 1
Daftar isi .......................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 3
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
1.3. Tujuan Penulis ..................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
2.1. Banten Sebelum Direnovasi ................................................................. 5
2.2. Banten Dalam Artikel “Banten Dalam Angka” .................................... 11
2.3. Artikel Tentang Penelitian Banten Lama ............................................. 16
Respon Masyarakat Sebagai Pengunjung Di Banten Lama ........................ 21
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 26
3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 26
3.2. Saran ..................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam kebudayaan dari berbagai daerahnya masing-masing . kebudayaan di Indonesia memiliki karakteristik kebudayaan sendiri yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, terutama faktor geografis, agama, politik, ekonomi dsb. Kebudayaan Indonesia tersebar dibanyak daerah. Tersebar di 34 Provinsi yang ada di Indonesia dengan berbagai ciri khas dan karakteristik. Bentuknya pun dapat bermacam-macam, karena sejatinya kebudayaan adalah nilai-nilai kedaerahan yang dikemas dalam berbagai bentuk.
Banten pada masa lalu merupakan daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten adalalah provinsi diwilayah paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari kerajaan Tarumanegara yang beragama hindu, namun setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara maka dilanjutkan oleh kerajaan Sunda. Lalu Maulana Hasanuddin mendirikan kesultanan Banten. Pada masa pemerintahannya masjid pertama yang dibangun adalah Masjid Agung Banten Lama, yang sampai hari ini masih terjaga dengan baik. Masjid agung ini merupakan simbol kejayaan islam dimasa itu. Dimasjid ini banyak terdapat aktivitas yang dapat dilakukan, seperti berziarah, mendapati bukti-bukti sejarah, menikmati arsitektur masjid yang cukup tersohor.
Kesultanan Banten pernah berjaya pada abad 16 hingga abad 17. Perdagangan yang terjadi melalalui Pelabuhan Karangantu menjadikan wilayah ini makmur dan sejahtera. Kini, cerita kesultanan Banten hanya tinggal sejarah, namun kejayaan dan peninggalannya masih dapat dilihat di Museum Situs Kepurbakaan Banten Lama.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana keadaan Banten Lama sebelum direnovasi?
b. Bagaimana Banten dalam Artikel “Banten Dalam Angka” ?
c. Bagaimana Artikel penelitian tentang Banten Lama?
d. Apa respon masyarakat sebagai pengunjung di Banten Lama berdasarkan hasil mini riset?
1.3. Tujuan
a. Untuk memahami keadaan Banten Lama sebelum direnovasi
b. Untuk memahami Banten dalam Artikel “Banten Dalam Angka”
c. Untuk memahami Artikel penelitian tentang Banten Lama
d. Untuk mengetahui respon masyarakat sebagai pengunjung di Banten Lama
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Keadaan Banten Sebelum Direnovasi
Banten pada masa lampau merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai. Pada masa abad ke-5, Banten merupakan bagian dari kerajaan Tarumanagara. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya salah satu prasasti peninggalan kerajaan Tarumanagara pada tahun 1947, yaitu berupa Prasasti Cidanghiyang yang ditemukan di tepi sungai Ci Danghiyang, Kampung Lebak, Banten. Prasasti ini berisikan 2 baris kalimat berbahasa Sansekerta yang menjelaskan tentang keberanian serta keagungan dari raja Purnawarman, sang pemimpin kerajaan Tarumanagara.
Akan tetapi, berabad-abad kemudian atau lebih tepatnya pada sekitar awal abad ke-16, setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara akibat serangan kerajaan Sriwijaya, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu (sekarang Kali Serayu) dan Ci Pamali (sekarang Kali Brebes) dilanjutkan oleh kerajaan Sunda (Wikipedia, 2010). Pada masa kekuasaan kerajaan Sunda inilah kawasan Banten menjadi semakin berkembang, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede,Tamgara, Kalapa, dan Cimanuk. Luasnya daerah kekuasaan yang dimiliki kerajaan Sunda ini dipertegas dengan pernyataan yang disampaikan oleh Tome Pires (1513), seorang penjelajah Portugis dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513-1515), yang menyebutkan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa (Ekadjati, et al., 1990).
Sekitar abad ke-17, saat pengaruh Islam masuk, Banten menjadi pusat dari Kesultanan Banten yang sangat maju dan modern. Banten merupakan kawasan pelabuhan terbesar di Asia Tenggara sejajar dengan Malaka dan Makasar (J. de Barros dalam Ekadjati, et al., 1990). Kesuksesan Banten ini tidak lepas dari peran Sultan Abdulfath Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa yang memegang kekuasaan Banten selama hampir kurang lebih 20 tahun. Berbagai macam usaha yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa untuk memajukan dan menyejahterakan Banten ialah dengan melakukan berbagai pembangunan, baik pembangunan fisik ataupun pembangunan spiritual. Pembangunan inilah yang kemudian menjadi unsur-unsur penting dalam struktur kota Banten pada masa kejayaannya.
Semenjak terjadinya perselisihan adu domba yang dilakukan oleh pihak Belanda kepada Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji, kota Banten mengalami kemunduran yang sangat tidak terduga. Kemunduran ini memicu terjadinya kehancuran kekuasaan kesultanan sehingga hal tersebut menyebabkan berpindahnya kekuasaan Kesultanan Banten ke tangan Belanda. Sejak saat itulah, kedigdayaan Kesultanan Banten semakin merosot dan menghilang namanya (Ekadjati, et al., 1990).
Setelah lebih dari 2 abad berlalu, Banten Lama sebagai Kota Kawasan Pesisir hanya sekedar menjadi situs peninggalan masa kejayaan Kesultanan Banten yang mengalami banyak sekali kemunduran. Tampaknya masyarakat sangat terpengaruh akan keadaan yang membayangi diri mereka selama kurang lebih 250 tahun tersebut. Berbagai pembangunan yang sangat cepat terjadi saat ini, mulai dari perkembangan daerah industri hingga pariwisata dan pelabuhan Ferry-Bakauheni tidak membuat daerah pesisir Banten Lama untuk ikut berkembang dan kembali hidup.
Hanya berupa sisa reruntuhan kejayaan Kesultanan Banten saja yang dapat kita nikmati. Kemahsyuran kota ini yang dulu sangat memukau sudah menjadi bagian dari sejarah kota Banten. Peninggalan Kesultanan Banten pun dikenal sekedar sebagai tempat berziarah saja. Banten Lama sebagai kota pelabuhan yang hebat hanya menjadi sebuah kenangan. Bagaimana citra kota pesisir dan pelabuhan yang sangat hebat dimasa lampau bisa hilang dan lenyap pada masa kini? Apa yang hilang dari kota Banten Lama yang tidak ada pada masa kini? Apakah langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai respon dalam merevitalisasi kawasan pesisir Banten Lama ini? Lalu bagaimana peran pemerintah dalam menghidupkan kembali kawasan Banten Lama ini, apakah masterplan yang direncanakan sudah sesuai dengan kebutuhan Banten Lama?
Belajar tentang kota, citra dan elemen pembentuknya sama halnya dengan belajar mengenai arsitektur, dimana topografi, tipologi, dan sejarah menjadi dasar pendefinisian sebuah arsitektur dalam unsur waktu dan ruang yang terus-menerus berubah (Rossi, 1982:179).
Kawasan Banten adalah kawasan yang pada masanya pernah menjadi kawasan pesisir maju di dunia. Kemajuan ini terjadi tidak terlepas dari kebijakan Sultan Banten pada masanya (sekitar abad ke-17), yaitu Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan baik secara fisik ataupun spiritual di kawasan Banten. Nama pelabuhan Banten ini kemudian keberadaannya mulai diakui seluruh negeri, menyejajarkannya dengan pelabuhan Malaka dan Makasar (J. de Barros dalam Ekadjati, et al., 1990).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan Banten menjadi kawasan pelabuhan terbaik di dunia pada masa itu (sekitar abad ke-17), merupakan akibat dari masuknya pengaruh Islam di kawasan Banten. Pada masa penyebaran agama Islam ini, Banten tumbuh dan berkembang dengan pesat. Tetapi masa sebelum pengaruh Islam masuk lebih memberi peran terhadap kemajuan dan perkembangan Banten. Pada masa menjelang abad ke-16, Banten hanyalah merupakan kampung nelayan dimana pelabuhan Banten dan berbagai kawasan lainnya masih dikuasai oleh Kerajaan Hindu-Budha Pajajaran. Dengan ibukotakadipaten kerajaan Hindu-Budha Pajajaran yang terletak di Banten Girang (girang: hulu), kira-kira 13 km ke-arah selatan Banten saat ini, Kerajaan Pajajaran menggunakan sungai Cibanten sebagai jalur transportasi utama menuju pelabuhan Banten. Keberadaan jalur transportasi utama sungai Cibanten ini yang kemudian membentuk pola permukiman yang linear disepanjang aliran sungai (Michrob, 1993:41).
Masa keberdirian Kesultanan Banten (1524-1552)
Kesultanan Banten muncul dan berdiri, berawal dari keinginan Kesultanan Demak untuk mengekspansi wilayah kekuasaan serta pengaruhnya ke daerah sebelah barat pulau Jawa. Bersama pasukannya, Sunan Gunung Jati berhasil merebut Kesultanan Sunda dan mendirikan Kesultanan Banten yang tetap berpusat ke Kesultanan Demak (1524-1525) (Tjandrasasmita, 1987).
Perebutan kekuasan yang dilakukan oleh pemimpin pasukan Sunan Gunung Jati, yaitu Fatahillah, menandai perebutan wilayah Banten ke Demak yang disertai dengan pemindahan kekuasaan. Pemindahan kekuasaan inilah yang kemudian mendorong terjadinya pemindahan pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Surosowan di Banten yang berlokasi dekat dengan pantai (1526). Pemindahan yang dilakukan atas nasihat dari Sunan Gunung Jati ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan politik dan ekonomi antara pesisir Jawa dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Indonesia, dimana saat itu Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga Banten berpotensi untuk menjadi sebuah pelabuhan besar yang sukses.
Berdirinya kesultanan Surosowan yang merupakan ibukota Kesultanan Banten itu sendiri adalah merupakan perintah dari Sunan Gunung Jati, sebagai tanda berpindahnya pusat pemerintahan, kepada puteranya Hasanuddin yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan Banten.
Masa Kejayaan Kesultanan Banten Lama (1651-1656)
Puncak kejayaan Kesultanan Banten dicapai pada masa pemerintahan Sultan Abdulfath Abdulfattah yang merupakan Raja ke-7 yang memimpin Kesultanan Banten pada tahun 1651 hingga 1672. Sultan yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa ini mampu mengembangkan Kesultanan Banten sehingga mampu mendorong Pelabuhan Banten untuk menjadi pelabuhan internasional, sehingga roda perekonomian Banten pun turut berkembang pesat. Untuk akhirnya berhasil mengembangkan Banten hingga menjadi pelabuhan yang sukses kala itu, berbagai bentuk pembangunan dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebagai solusinya. Seperti pembangunan fisik berupa perbaikan Keraton Surosowan dan pembangunan Keraton Tirtayasa yang terletak di sebelah utara Banten, dekat dengan tepi pantai, serta pembangunan saluran air Tasikardi- Keraton di sebelah barat daya keraton, dimana terdapat Pangindelan Mas dan Pangindelan Putih serta pancuran mas di keraton (Tjandrasasmita, 1987).
Masa Kehancuran Kesultanan Banten
Masa kehancuran ini diawali oleh masuknya Belanda dengan VOC sebagai perusahaan dagangnya pada tahun 1610 yang memicu merosotnya frekuensi kegiatan perniagaan Internasional dan Nusantara di Banten akibat dari adanya praktik monopoli oleh pihak kompeni. Hal ini menyebabkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Banten pun menurun drastis. Pada tahun 1656, terjadi ketegangan hubungan antara Kesultanan Banten dengan pihak Belanda. Ketegangan yang muncul sebagai akibat dari habisnya masa berlaku surat perjanjian 10 tahun mengenai kerjasama antara pihak Banten dengan Belanda yang pada akhirnya tidak menemui titik temu untuk kembali diperpanjang. Untuk mengatasi ketegangan ini, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha meluaskan pengaruhnya dengan menjalin kerjasama dengan daerah-daerah dibagian barat dan timur kesultanan seperti Cirebon, Mataram, Bengkulu, Lampung, dan Salebar.
Meski sempat terjadi kesepakatan mengenai perjanjian perdamaian, ternyata hal ini tidak dapat berlangsung lama sehingga kembali terjadi perang terbuka pada tahun 1658 yang banyak memakan korban jiwa. Melihat banyaknya korban jiwa yang habis akibat peperangan ini, Belanda akhirnya kembali menawarkan kesempatan perjanjian perdamaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Jenderal Kompeni pada tahun 1659. Sebuah perjanjian yang mengalami proses yang alot akibat kecurangan dari pidak Belanda yang ingin menguasai wilayah Kesultanan Banten.
Selain itu, kemunduran ini juga terjadi sebagai akibat dari terjadinya aksi adu domba yang dilakukan oleh pihak Kompeni (1671), antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anak tercintanya Sultan Abdul Kahar atau yang biasa disebut dengan Sultan Haji. Aksi adu domba ini ternyata telah berhasil menghasut Sultan Haji untuk tidak lagi menuruti apa yang diperintahkan oleh ayahandanya, dan lebih mendengarkan perintah dan hasutan dari pihak Kompeni atau Belanda. Karena kebodohan yang dilakukan oleh anaknya inilah yang kemudian membuat Sultan Ageng Tirtayasa terpaksa menyerang dan memusnahkan Keraton Tirtayasa untuk menghukum anaknya Sultan Haji yang telah ingkar dan berkhianat.
Pasca peperangan ini sebenarnya sudah berhasil membuat kondisi Kesultanan Banten semakin terpuruk. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa dijebak oleh pihak Belanda agar kembali ke Keraton Surosowan dan kemudian ditangkap. Hal ini dilakukan agar pada tahun berikutnya, 1684, pihak Belanda dapat membuat suatu perjanjian perdamaian dengan pihak kesultanan yaitu Sultan Haji. Kesultanan pun berangsur-angsur mengalami kemerosotan dalam performanya dan kemudian hancur akibat perang dengan pihak kompeni.
Setelah perlawanan yang cukup sengit pada tahun 1808, Keraton Surosowan pada akhirnya diserbu dan dihancurkan oleh Belanda. Akibatnya Sultan Muhammad Rafi‟uddin, yang merupakan sultan terakhir Kesultanan Banten, pada tahun 1815 terpaksa pergi meninggalkan Keraton Surosowan dan pindah ke Keraton Kaibon yang letaknya berada di tepi sungai Cibanten, lebih selatan dari Keraton Surosowan. Tetapi pelarian ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 1832, keraton ini dibongkar paksa oleh pihak Belanda.
Sedangkan jauh sebelum pembongkaran paksa itu, pada tahun 1816 pihak Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Van Capellan sudah mengambil alih kekuasan Kesultanan Banten dan menjadikan Keraton Kaibon di Kasemen sebagai pusat pemerintahannya yang baru. Lalu pada tahun 1828, pusat pemerintahan kabupaten pun dipindahkan dari Kasemen ke sebelah Selatan dan kemudian membangun Kota Serang (serang: sawah). Disebut Serang dikarenakan kota ini dahulunya merupakan daerah persawahan yang subur (Rafiuddin, 2006).
Banten Masa Lampau (Periode Kesultanan Banten – Kemerdekaan RI)
a. Masjid Agung Banten
Masjid ini didirikan pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1780) (Guillot, 1990). Kompleks Masjid ini terdiri dari Bangunan Masjid dengan serambi pada kanan dan kirinya, Bangunan Tijamah, Menara, dan tempat pemakaman pada sisi utaranya. Bangunan Tijamah merupakan bangunan tambahan yang terletak di sebelah selatan Masjid Agung. Pada masa ini, bangunan ini digunakan sebagai tempat musyawarah dan diskusi soal keagamaan. Menurut tradisi dibangun oleh Lucasz Cardeel, seorang arsitek Belanda (Tjandrasasmita, 1987).
b. Keraton Surosowan
Kompleks Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat dengan luas sekitar 3 Ha. Pintu masuk yang berada disebelah utara ini menghadap kearah alun-alun yang juga menghadap ke arah pesisir pantai. Kompleks ini juga memiliki kanal-kanal air yang mengelilingi keraton ini. Keraton Surosowan dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sedangkan tembok besar yang mengelilinginya dibangun pada masa kesultanan Maulana Yusuf (1570-1580), anak dari Maulana Hasanuddin (Rafiuddin, 2006).
c. Keraton Kaibon
Keraton Kaibon terletak di Kampung Kroya sebelah tenggara dari Komplek Keraton Surosowan. Dilihat dari namanya, Kaibon mempunyai arti Keibuan. Keraton ini dibangun untuk Ibu Ratu Aisyah, ibunda Sultan Shafiyuddin mengingat Sultan Shafiyuddin masih sangat muda sekali untuk memegang tahta pemerintahan (masih berumur 5 tahun). Sayangnya Keraton Kaibon berdiri tidak lama, karena pada tahun 1832, keraton ini dibongkar paksa oleh Belanda sebagai bukti kekuasaan Belanda di kesultanan Banten (Rafiuddin, 2006).
Keraton Kaibon ini dikelilingi oleh saluran air, sehingga seolah-olah keraton ini dibangun di atas air. Saluran ataupun kanal-kanal air yang mengelilinginya ini pun ternyata menghubungkan keraton dengan laut lepas melalui jalur sungai cibanten melewati pelabuhan Karangantu. Sebagai bagian intidari bangunan ini yaitu sebuah masjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah dan anggun (Tjandrasasmita, 1987).
d. Benteng Speelwijck
Dalam sebuah catatan sejarah, diceritakan bahwa benteng Speelwijck ini dahulunya merupakan benteng kepemilikan kesultanan Banten. Benteng Banten ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Haji Abunhasri‟ Abdul Kahhar (1672- 1687). Tetapi pada tahun 1685, kesultanan Banten diserang oleh pihak Belanda dan kekuasaan diambil alih oleh Belanda. Kemudian benteng ini pun direnovasi di atas reruntuhan sisi utara tembok/benteng yang sempat mengelilingi kota Banten. Dibagian luarnya dibuat kanal-kanal air buatan yang mengelilingi benteng ini. Benteng Speewijck ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda yang sudah memeluk agama Islam saat itu yaitu Hendrick Lucaszoon Cardeel. Sedangkan nama Speelwicjk yang melekat pada benteng tersebut merupakan nama dari seorang Gubernur Jenderal Speelma.
Pada masa kesultanan Banten, benteng ini merupakan rumah komandan, gereja, kamar senjata, kantor administrasi, took-toko kompeni, serta kamar dagang. Tidak mengherankan bila ternyata disekitar kawasan Benteng Speelwijck ini merupakan kawasan permukiman orang Belanda yang beraktivitas disekitar Benteng Speelwijck (Rafiuddin, 2006).
2. 2 Banten Dalam Artikel “Banten Dalam Angka”
Secara astronomis, Provinsi Banten terletak antara 050 07'50" dan 070 01'01" Lintang Selatan, serta 1050 01'11" dan 1060 07'12" bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi Banten memiliki batas-batas: Utara – Laut Jawa; Selatan - Samudera Hindia; Barat – Selat Sunda; Timur – Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Provinsi Banten terdiri dari empat Kabupaten dan empat Kota, yaitu:
- Kabupaten Pandeglang
- Kabupaten Lebak
- Kabupaten Tangerang
- Kabupaten Serang
- Kota Tangerang
- Kota Cilegon
- Kota Serang
- Kota Tangerang Selatan
Provinsi Banten secara umum merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 – 200 meter di atas permukaan laut, serta memiliki beberapa gunung dengan ketinggian mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut. Wilayah administrasi Provinsi Banten terdiri dari empat wilayah kabupaten dan empat kota, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 6 Tahun 2008 luas daratan masing-masing kabupaten/kota, yaitu:
Kabupaten Pandeglang (2.746,89 km2),Kabupaten Lebak (3.426,56 km2), Kabupaten Tangerang (1.011,86 km2), Kabupaten Serang (1.734,28 km2 ), Kota Tangerang(153,93 km2), Kota Cilegon (175,50 km2), Kota Serang (266,71 km2), serta Kota Tangerang Selatan (147,19 km2).
Jarak antara Ibukota Provinsi ke Daerah Kabupaten/Kota:
1. Serang - Pandeglang (Kabupaten Pandeglang) : 21 km.
2. Serang – Rangkasbitung (Kabupaten Lebak) : 41 km.
3. Serang - Tigaraksa (Kabupaten Tangerang) : 33 km.
4. Serang - Ciruas (Kabupaten Serang) : 9 km.
Pada awalnya Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kemudian, melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten yang disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 17 Oktober 2000, Banten menjadi sebuah provinsi yang otonom. Sebulan setelah itu pada 18 November 2000 dilakukan peresmian Provinsi Banten dan pelantikan Pejabat Gubernur H. Hakamudin Djamal untuk menjalankan pemerintah provinsi sementara waktu sebelum terpilihnya Gubernur Banten definitif. Pada tahun 2002 DPRD Banten memilih Dr. Ir. H. Djoko Munandar, M.Eng dan Hj. Atut Chosiyah, SE. sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pertama.
Sejak berdirinya, Provinsi Banten telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam bidang pemerintahan, dimana pada awalnya terdiri dari 6 (enam) kabupaten/kota dan pada saat ini terdiri dari 8 (delapan) kabupaten/kota yang terbagi menjadi 155 kecamatan dan 1.551 desa/ kelurahan. Pada tahun 2017, jumlah wakil rakyat yang duduk pada lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebanyak 85 orang, dengan 67 orang laki-laki dan 18 orang perempuanSecara organisasi, lembaga wakil rakyat tahun ini terdiri dari Sembilan fraksi. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Golongan Karya merupakan fraksi terbesar dengan anggota masing-masing sebanyak 15 orang.
Pada tahun 2017, penduduk Banten usia 7-24 tahun yang masih sekolah sebanyak 68,09 persen. Untuk kelompok umur 7-12 tahun yang masih sekolah sebanyak 99,31 persen, kemudian kelompok umur 13-15 tahun sebanyak 95,67 persen, kelompok umur 16-18 tahun sebanyak 67,77 persen, dan kelompok umur 19-24 tahun sebanyak 21,33 persen.Pada tahun 2017, di Provinsi Bantenterdapat 4.562 unit Sekolah Dasar (SD)dengan 53.354 guru dan 1.195.653murid. Untuk Sekolah MenengahPertama (SMP), pada tahun 2017terdapat 1.421 unit SMP dengan 19.995guru dan 424.406 murid. Sementara itu, untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), di Provinsi Banten terdapat 529unit Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan 9.613 guru dan 182.941 murid, serta 668 unit Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan 10.900 guru dan 250.361 murid. Disamping sekolah umum tersebut, di Provinsi Banten juga terdapat 1.036 unit Madrasah Ibtidaiyah (MI), 1.005 unit Madrasah Tsanawiyah (MTs), 396 unit Madrasah Aliyah (MA) serta 3.267 pondok pesantren.
Pada tahun 2017, fasilitas kesehatan yang tersedia di Provinsi Banten antara lain 106 unit Rumah Sakit, 239 Puskesmas, dan 1.245 Klinik/ Balai. Tenaga kesehatan yang tersedia di Provinsi Banten sebanyak 1.415 tenaga medis, 4.281 tenaga keperawatan, 4.118 tenaga kebidanan, 414 tenaga kefarmasian, dan 1.291 tenaga kesehatan lainnya.
Sebagai sarana ibadah, di Provinsi Banten terdapat 9.112 masjid, 13.299 mushola, 838 gereja Protestan, 14 gereja Katholik, 12 pura, 155 wihara dan 9 kelenteng. Pada pelaksanaan ibadah haji tahun 2017, jumlah jamaah haji dari Provinsi Banten sebanyak 9.308 orang, yang terdiri dari 4.204 jemaah laki-laki dan 5.104 jemaah perempuan.
Pada tahun 2017 tercatat sebanyak 3.146 tahanan dan 6.597 narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang ada diWilayah Provinsi Banten.Pada Maret 2017 terdapat 675,04 ribu penduduk miskin di Provinsi Banten (5,45%), sementara pada September 2017 terdapat 699,83 ribu penduduk miskin (5,59%). Persentase penduduk miskin tersebut meningkat dari tahun 2016 yang sebesar 5,42 persen pada bulan Maret 2016 dan 5,36 persen pada bulan September 2016.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Banten menunjukkan peningkatan dari 70,96 pada tahun 2016 menjadi 71,42 pada tahun 2017. IPM tersebut ditopang oleh Angka Harapan Hidup sepanjang 69,49 tahun, Harapan Lama Sekolah sepanjang 12,78 tahun, Rata-rata Lama Sekolah sepanjang 8,53 tahun, dan Pengeluaran per kapita yang disesuaikan sebesar 11,66 juta rupiah per tahun.
Pada tahun 2017, produksi padi di Provinsi banten sebesar 2,37 juta ton untuk padi sawah dan 43,75 ribu ton untuk padi ladang. Sementara itu, produksi tanaman palawija pada tahun 2017 masing-masing adalah 63,52 ribu ton jagung, 2,13 ribu ton kedelai, 5,73 ribu ton kacang tanah, 221 ton kacang hijau, 75,49 ribu ton ubi kayu, dan 20,72 ributon ubi jalar.
Pada tahun 2017, komoditi sayuran dan buah-buahan tahunan di Provinsi Banten didominasi oleh pisang, melinjo, dan durian. Produksi pisang tahun 2017 sebesar 250,19 ribu ton, melinjo sebesar 24,80 ribu ton, dan durian sebesar 22,63 ribu ton. Sedangkan komoditi sayuran dan buah-buahan semusim didominasi oleh jamur sebesar 1,39 ribu ton, kacang panjang sebesar 1,31 ribu ton dan ketimun sebesar 1,29 ribu ton.
Tiga komoditi utama tanaman perkebunan di Provinsi Banten padatahun 2017 yaitu kelapa dengan produksi sebesar 43.046 ton, kelapa sawit sebesar 3.785 ton, dan karet sebesar 6.591 ton.
Populasi sapi (sapi potong dan sapi perah) di Provinsi Banten tahun 2017 mencapai 56,71 ribu ekor, kerbau sebanyak 101,06 ribu ekor dan kuda 178 ekor. Untuk populasi ternak kecil tercatat domba sebanyak 684,38 ribu ekor, kambing 815,81 ribu ekor, dan babi 5,72 ribu ekor. Sementara itu populasi unggas yaitu ayam pedaging sebanyak 211,70 juta ekor, ayam kampung 11,12 juta ekor, ayam petelur 15,65 juta ekor, itik 1,73 juta ekor, dan itik manila 177,61 ribu ekor.
Pada tahun 2017, di Provinsi Banten terdapat 9.235 rumah tangga perikanan tangkap, dimana 8.676 rumah tangga atau 93,95 persen diantaranya merupakan rumah tangga yang menangkap ikan di laut, sementara sisanya merupakan rumah tangga yang menangkap ikan di perairan umum. Total produksi perikanan tangkap selama tahun 2017 sebesar 107,36 ributon, dimana 106,54 ribu ton atau 99,24persen diantaranya dihasilkan dari perikanan tangkap di laut.
Produksi hasil hutan yang berupa kayu di Provinsi Banten pada tahun 2017 berupa kayu bulat sebanyak 17,56 ribu m yang terdiri dari kayu jati dan kayu rimba. Produksi kayu jati pada tahun 2017 sebesar 11,69 ribu m dengan nilai produksi 27,89 miliar rupiah, sedangkan produksi kayu rimba sebesar 5,86 ribu m dengan nilai 1,95 miliar rupiah.
Pada tahun 2016, di Provinsi Banten terdapat 1.862 perusahaan industri besar dan sedang, dengan tenaga kerja sebanyak 514.462 orang. Nilai produksi yang dihasilkan pada tahun 2015 adalah sebesar 440,20 trilyun rupiah.
Pada tahun 2017, jumlah perusahaan pertambangan di Provinsi Banten sebanyak 203 perusahaan,dimana yang terbanyak adalah perusahaan pertambangan andesit, pasir laut, dan pasir darat. Dilihat dari luas wilayah penambangannya, bahan tambang jenis pasir laut memiliki wilayah terluas, yaitu sebesar 38,39 ribuha. Sementara itu, dari jumlah produksinya, andesit memiliki produksi terbesar yaitu 2,66 juta m.
Pada tahun 2017, jumlah pelanggan listrik di wilayah Provinsi Banten sebanyak 2,93 juta pelanggan, dengan daya tersambung sebesar 9,90 juta kVA dan energi yang terjual sebesar 21,68 juta MWh. Sementara itu, gas kota yang terjual selama tahun 2017 sebanyak 1,33.
Nilai ekspor Provinsi Banten tahun 2017 sebesar US$11,24 miliar, naik 20,49persen dari tahun sebelumnya yang sebesar US$9,33 miliar. Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar pada ekspor Provinsi Banten, yaitu sebesar US$10,97 miliar (97,68%), sementara sisanya berasal dari sektor pertanian US$233,58 juta (2,08%), migasUS$24,75 juta (0,22%), serta pertambangan dan lainnya US$2,49 juta (0,02%).Nilai impor Provinsi Banten tahun 2017 sebesar US$11,03 miliar, naik 29,53 persen dibandingkan nilai impor tahun sebelumnya yang sebesar US$8,51 miliar. Sebagian besar impor tersebut berupa bahan baku dan barang penolong sebesar US$10,49 miliar (95,10%), sedangkan sisanya berupa barang modal US$299,69 juta (2,72%) dan barang konsumsi US$240,37 juta (2,18%)..
Pada tahun 2017 terdapat 384 hotel (berbintang dan nonbintang) di Provinsi Banten yang menyediakan 16.669 kamar dan 24.327 tempat tidur. Hotel tersebut digunakan oleh tamu asing maupun tamu domestik dengan rata-rata lama menginap selama 1,95hari untuk tamu asing dan 1,43 hari untuk tamu domestik. Sementara itu, tingkat penghunian kamar hotel selama tahun 2017 adalah 52,59 persen untuk hotel berbintang dan 28,62 persen untuk hotel nonbintang.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pariwisata, sepanjang tahun 2017 terdapat 21,71 juta wisatawan yang mengunjungi lokasi wisata di Provinsi Banten, yang terdiri dari 23,31 juta wisatawan nusantara dan 403,46 ribu wisatawan mancanegara.
2. 3 Artikel Tentang Penelitian Banten Lama
Banten merupakan salah satu provinsi baru yang ada di Indonesia. Sejak tahun 2000, sesuai dengan keputusan Undang-undang Nomor 23 tahun 2000, Banten resmi terpisah dari provinsi Jawa Barat dan menjadi provinsi sendiri dengan Kota Serang sebagai pusat pemerintahan. Dengan luas wilayah sebesar 9.160,70 km2 dan jumlah penduduk sebesar 9.351.470 jiwa, Provinsi Banten memiliki tingkat kepadatan sekitar 1.020 jiwa/km2 (Wikipedia, 2010).
Sebagai provinsi dengan jumlah daerah pesisir yang signifikan, Banten mempunyai wilayah perairan yang sangat potensial. Selat Sunda menjadi salah satu jalur strategis yang dimiliki Banten karena mampu dilalui kapal-kapal besar yang menghubungkan Australia dengan Asia. Tidaklah heran bila pada masa lampau kawasan Banten menjadi kawasan yang paling maju dan berkembang karena peran dan kontribusi wilayah perairannya yangstrategis.
Kawasan Banten adalah kawasan yang pada masanya pernah menjadi kawasan pesisir maju di dunia. Kemajuan ini terjadi tidak terlepas dari kebijakan Sultan Banten pada masanya (sekitar abad ke-17), yaitu Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan baik secara fisik ataupun spiritual di kawasan Banten. Nama pelabuhan Banten ini kemudian keberadaannya mulai diakui seluruh negeri, menyejajarkannya dengan pelabuhan Malaka dan Makasar (J. de Barros dalam Ekadjati, et al.,1990).
a. Sejarah Banten
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan Banten menjadi kawasan pelabuhan terbaik di dunia pada masa itu (sekitar abad ke-17), merupakan akibat dari masuknya pengaruh Islam di kawasan Banten. Pada masa penyebaran agama Islam ini, Banten tumbuh dan berkembang dengan pesat. Tetapi masa sebelum pengaruh Islam masuk lebih memberi peran terhadap kemajuan dan perkembangan Banten. Pada masa menjelang abad ke-16, Banten hanyalah merupakan kampung nelayan dimana pelabuhan Banten dan berbagai kawasan lainnya masih dikuasai oleh Kerajaan Hindu-Budha Pajajaran. Dengan ibukota kadipaten kerajaan Hindu-Budha Pajajaran yang terletak di Banten Girang (girang: hulu), kira-kira 13 km ke-arah selatan Banten saat ini, Kerajaan Pajajaran menggunakan sungai Cibanten sebagai jalur transportasi utama menuju pelabuhan Banten. Keberadaan jalur transportasi utama sungai Cibanten ini yang kemudian membentuk pola permukiman yang linear disepanjang aliran sungai (Michrob, 1993:41).
b. Masa keberdirian Kesultanan Banten (1524-1552)
Kesultanan Banten muncul dan berdiri, berawal dari keinginan Kesultanan Demak untuk mengekspansi wilayah kekuasaan serta pengaruhnya ke daerah sebelah barat pulau Jawa. Bersama pasukannya, Sunan Gunung Jati berhasil merebut Kesultanan Sunda dan mendirikan Kesultanan Banten yang tetap berpusat ke Kesultanan Demak (1524-1525) (Tjandrasasmita,1987).
Perebutan kekuasan yang dilakukan oleh pemimpin pasukan Sunan Gunung Jati, yaitu Fatahillah, menandai perebutan wilayah Banten ke Demak yang disertai dengan pemindahan kekuasaan. Pemindahan kekuasaan inilah yang kemudian mendorong terjadinya pemindahan pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Surosowan di Banten yang berlokasi dekat dengan pantai (1526). Pemindahan yang dilakukan atas nasihat dari Sunan Gunung Jati ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan politik dan ekonomi antara pesisir Jawa dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Indonesia, dimana saat itu Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga Banten berpotensi untuk menjadi sebuah pelabuhan besar yangsukses.
Berdirinya kesultanan Surosowan yang merupakan ibukota Kesultanan Banten itu sendiri adalah merupakan perintah dari Sunan Gunung Jati, sebagai tanda berpindahnya pusat pemerintahan, kepada puteranya Hasanuddin yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan Banten.
c. Masa Kejayaan Kesultanan Banten Lama (1651-1656)
Puncak kejayaan Kesultanan Banten dicapai pada masa pemerintahan Sultan Abdulfath Abdulfattah yang merupakan Raja ke-7 yang memimpin Kesultanan Banten pada tahun 1651 hingga 1672. Sultan yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa ini mampu mengembangkan Kesultanan Banten sehingga mampu mendorong Pelabuhan Banten untuk menjadi pelabuhan internasional, sehingga roda perekonomian Banten pun turut berkembang pesat. Untuk akhirnya berhasil mengembangkan Banten hingga menjadi pelabuhan yang sukses kala itu, berbagai bentuk pembangunan dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebagai solusinya. Seperti pembangunan fisik berupa perbaikan Keraton Surosowan dan pembangunan Keraton Tirtayasa yang terletak di sebelah utara Banten, dekat dengan tepi pantai, serta pembangunan saluran air Tasikardi- Keraton di sebelah barat daya keraton, dimana terdapat Pangindelan Mas dan Pangindelan Putih serta pancuran mas di keraton (Tjandrasasmita, 1987).
d. Masa Kehancuran Kesultanan Banten
Masa kehancuran ini diawali oleh masuknya Belanda dengan VOC sebagai perusahaan dagangnya pada tahun 1610 yang memicu merosotnya frekuensi kegiatan perniagaan Internasional dan Nusantara di Banten akibat dari adanya praktik monopoli oleh pihak kompeni. Hal ini menyebabkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Banten pun menurun drastis. Pada tahun 1656, terjadi ketegangan hubungan antara Kesultanan Banten dengan pihak Belanda. Ketegangan yang muncul sebagai akibat dari habisnya masa berlaku surat perjanjian 10 tahun mengenai kerjasama antara pihak Banten dengan Belanda yang pada akhirnya tidak menemui titik temu untuk kembali diperpanjang. Untuk mengatasi ketegangan ini, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha meluaskan pengaruhnya dengan menjalin kerjasama dengan daerah-daerah di bagian barat dan timur kesultanan seperti Cirebon, Mataram, Bengkulu, Lampung, dan Salebar.
Meski sempat terjadi kesepakatan mengenai perjanjian perdamaian, ternyata hal ini tidak dapat berlangsung lama sehingga kembali terjadi perang terbuka pada tahun 1658 yang banyak memakan korban jiwa. Melihat banyaknya korban jiwa yang habis akibat peperangan ini, Belanda akhirnya kembali menawarkan kesempatan perjanjian perdamaian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Jenderal Kompeni pada tahun 1659. Sebuah perjanjian yang mengalami proses yang alot akibat kecurangan dari pidak Belanda yang ingin menguasai wilayah Kesultanan Banten.
Selain itu, kemunduran ini juga terjadi sebagai akibat dari terjadinya aksi adu domba yang dilakukan oleh pihak Kompeni (1671), antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anak tercintanya Sultan Abdul Kahar atau yang biasa disebut dengan Sultan Haji. Aksi adu domba ini ternyata telah berhasil menghasut Sultan Haji untuk tidak lagi menuruti apa yang diperintahkan oleh ayahandanya, dan lebih mendengarkan perintah dan hasutan dari pihak Kompeni atau Belanda. Karena kebodohan yang dilakukan oleh anaknya inilah yang kemudian membuat Sultan Ageng Tirtayasa terpaksa menyerang dan memusnahkan Keraton Tirtayasa untuk menghukum anaknya Sultan Haji yang telah ingkar dan berkhianat.
Pasca peperangan ini sebenarnya sudah berhasil membuat kondisi Kesultanan Banten semakin terpuruk. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa dijebak oleh pihak Belanda agar kembali ke Keraton Surosowan dan kemudian ditangkap. Hal ini dilakukan agar pada tahun berikutnya, 1684, pihak Belanda dapat membuat suatu perjanjian perdamaian dengan pihak kesultanan yaitu Sultan Haji.
Permasalahan yang terjadi di dalam Kesultanan Banten ini, tidak hanya semata-mata mengenai perebutan kekuasaan dengan pihak Belanda. Lebih dari itu, di dalam kesultanan sendiri terjadi perebutan kekuasaan oleh anak-anak Sultan Haji sepeninggal kematian Sultan Haji pada tahun1687.
Bermula dari permasalahan inilah yang kemudian memicu berbagai perselisihan di dalam kubu kesultanan sendiri yang dijadikan sebagai celah untuk menghancurkan kesultanan Banten oleh pihak kompeni. Lama-kelamaan,kesultanan pun berangsur-angsur mengalami kemerosotan dalam performanya dan kemudian hancur akibat perang dengan pihak kompeni.
Setelah perlawanan yang cukup sengit pada tahun 1808, Keraton Surosowan pada akhirnya diserbu dan dihancurkan oleh Belanda. Akibatnya Sultan Muhammad Rafi‟uddin, yang merupakan sultan terakhir Kesultanan Banten, pada tahun 1815 terpaksa pergi meninggalkan Keraton Surosowan dan pindah ke Keraton Kaibon yang letaknya berada di tepi sungai Cibanten, lebih selatan dari Keraton Surosowan. Tetapi pelarian ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 1832, keraton ini dibongkar paksa oleh pihak Belanda.
Sedangkan jauh sebelum pembongkaran paksa itu, pada tahun 1816 pihak Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Van Capellan sudah mengambil alih kekuasan Kesultanan Banten dan menjadikan Keraton Kaibon di Kasemen sebagai pusat pemerintahannya yang baru. Lalu pada tahun 1828, pusat pemerintahan kabupaten pun dipindahkan dari Kasemen ke sebelah Selatan dan kemudian membangun Kota Serang (serang: sawah). Disebut Serang dikarenakan kota ini dahulunya merupakan daerah persawahan yang subur (Rafiuddin,2006).
2. 4 Respon Masyarakat Sebagai Pengunjung Di Banten Lama
Berdasarkan observasi melalui penyebaran angket yang kami lakukan pada pengunjung Komplek Masjid Agung Banten Lama dengan berbagai umur, jenjang pendidikan, pekerjaan, dan asal mereka memiliki pandangan yang berbeda dari setiap pertanyaan yang ada pada angket tersebut, dari keseluruhan pengunjung yang kami temui dapat disimpulkan, pada pertanyaan ke-1 12/16 orang mengatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-2 12/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-3 13/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-4 14/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-5 7/16 orang menyatakan tidak setuju, pada pertanyaan ke-6 9/16 orang menyatakan setuju, pada pertanyaan ke-7 12/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-8 7/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-9 7/16 menyatakan setuju, pada pertanyaan ke-10 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-11 9/16 orang menyatakan setuju, pada pertanyaan ke-12 6/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-13 10/16 orang menyatakan sangat setuju, pada pertanyaan ke-14 7/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-15 13/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-16 11/6 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-17 9/6 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-18 6/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-199/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-20. Pada pertanyaan ke-21 11/16 orang menyatakan 10/16 menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-22 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-23 12/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-23 6/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-24 6/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-25 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-26 9/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-28 13/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-29 5/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-307/16 orang menyatakan sangat setuju. Pada pertanyaan ke-31 9/16 orang menyatakan setuju. Pada pertanyaan ke-32 10/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-33 6/16 orang menyatakan tidak setuju. Pertanyaan ke-34 6/16 orang menyatakan tidak setuju. Pada pertanyaan ke-35 6/16 orang menyatakan tidak setuju
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Banten pada masa lalu merupakan daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten adalalah provinsi diwilayah paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. banten pada abad ke-5 merupakan bagian dari kerajaan Tarumanegara yang beragama hindu, namun setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara maka dilanjutkan oleh kerajaan Sunda. Lalu Maulana Hasanuddin mendirikan kesultanan Banten. Pada masa pemerintahannya masjid pertama yang dibangun adalah Masjid Agung Banten Lama, yang sampai hari ini masih terjaga dengan baik. Masjid agung ini merupakan simbol kejayaan islam dimasa itu. Dimasjid ini banyak terdapat aktivitas yang dapat dilakukan, seperti berziarah, mendapati bukti-bukti sejarah, menikmati arsitektur masjid yang cukup tersohor.
Berdasarkan hasil observasi pada pengunjung Masjid Agung Banten Lama dapat disimpikan bahwa pada aspek pariwisata, penengujung setuju bahwa mereka menyukai tempat tersebut dan mereka mengunjungi untuk berbagai macam hal seperti ziarah, ibadah bahkan untuk mendalami sejarah banten. Pada aspek lingkungan menurut pengujung berbagai fasilitas sudah cukup memadai dan bersih, pengelolaan sampah sudah baik dengan adanya 3 warna tempat sambah dan para pengunjung pun sudah sadar akan memebuang sampah pada tempatnya. Pada aspek ekonomi, menurut pengunjung oleh-oleh yang diperdagangkan cukup bervariasa baik makanan maupun harga, tetapi para pengunjung masih merasa belum aman saat membeli oleh-oleh karena masih merasa takut dengan adanya para pencopet disana. Pada aspek teknologi, akses jalan menuju Banten lama cukup mudah tetapi dengan lahan parkir dengan kemanan rendah karea tidak adanya sistem digital dan cctv dan jalan keluar masuk pengunjung yang belum tertata.
3.2. SARAN
1. Pembaca perlu datang ke Masjid Agung Banten Lama agar dapat memastikan kondisi yang ada disana
2. Sebaiknya observasi dilakukan dengan teliti dan apaadanya
LAMPIRAN FOTO
DAFTAR PUSTAKA
Bidang Integrasi Pengolahan Dan Diseminasi Statistik. 2018. Provinsi Banten Dalam Angka
2018. BPS Provinsi Banten: Banten
Ekadjati, E.S, dkk. 1990. Sejarah dan Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme
di Daerah Jawa Barat. Depdikbud : Jakarta
Michrob, Halwany. 1993. Sejarah Perkembangan Kota Islam Banten. Yayasan Baluwarti:
Jakarta.
Rapiuddin, Tb. Hafidz. 2006. Riwayat Kesultanan Banten. Banten
Rossi, Aldo. 1982. The Architecture of The City. Oppositions Books.
Tjandrasasmita, Uka. 1987. Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten
Lama. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala:
Jakarta.




Mantap, semangat nulisnyaa
BalasHapus